Act and Art

test banner

Pages

test

test

Thursday, October 19, 2017

Gerak dalam Teater

GERAK


Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mempelajari seluk beluk gerak, maka terlebih dahulu kita harus mengenal tentang olah tubuh. Olah tubuh (bisa juga dikatakan senam), sangat perlu dilakukan sebelum kita men
gadakan latihan atau pementasan. Dengan berolah tubuh kita akan, mendapat keadaaan atau kondisi tubuh yang maksimal.
Selain itu olah tubuh juga mempunyai tujuan melatih atau melemaskan otot‑otot kita supaya elastis, lentur, luwes dan supaya tidak ada bagian‑bagian tubuh kita yang kaku selama latihan-latihan nanti.
Pelaksanaan olah tubuh :
  1. Pertama sekali mari kita perhatikan dan rasakan dengan segenap panca indera yana kita punyai, tentang segala rakhmat yang dianugerahkan kepada kita. Dengan memakai rasa kita perhatikan seluruh tubuh kita, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, yang mana semuanya itu merupakan rakhmat Tuhan yarig diberikan kepada kita.
  2. Sekarang mari kita menggerakkan tubuh kita.
-          Jatuhkan kepala ke depan. Kemudian jatuhkan ke belakanq, ke kiri, ke kanan. Ingat kepala/leher dalam keadaan lemas, seperti orang mengantuk.
-          Putar kepala pelan‑pelan dan rasakan lekukan‑lekukan di leher, mulai dari muka. kemudian ke kiri, ke belakang dan ke kanan. Begitu seterusnya dan lakukan berkali‑kali. Ingat, pelan‑pelan dan rasakan !
-          Putar bahu ke arah depan berkali‑kali, juga ke arah belakang. Pertama satu-persatu terlebih dahulu, baru kemudian bahu kiri dan kanan diputar serentak.
-          Putar bahu kanan ke arah depan, sedangkan bahu kiri diputar ke arah belakang. Demikian pula sebaliknya.
-          Rentangkan tangan kemudian putar pergelangan tangan, putar batas siku, putar tangan keseluruhan. Lakukan berkali‑kali, pertama tangan kanan dahulu, kemudian tangan kiri, baru bersama‑sama.
-          Putar pinggang ke kiri, depan, kanan, belakang. Juga sebaliknya.
-          Ambil posisi berdiri yang sempurna, lalu angkat kaki kanan dengan tumpuan pada kaki kiri. Jaga jangan sampai jatuh. Kemudian putar pergelangan kaki kanan, putar lutut kanan, putar seluruh kaki kanan. Kerjakan juga pada kaki kiri sesuai dengan cara di atas.
-          Sebagai pembuka dan penutup olah tubuh ini, lakukan iari‑lari di tempat dan meloncat‑loncat.



Macam‑Macam Gerak :
Setiap orang memerlukan gerak dalam hidupnya. Banyak gerak yang dapat dilakukan manusia. Dalam latihan dasar teater, kita juga harus mengenal dengan baik bermacam‑macam gerak Latihan‑latihan mengenai gerak ini harus diperhatikan secara khusus oleh seseorang yang berkecimpung dalam bidang teater.
Pada dasarnya gerak dapat dibaqi menjadi dua, yaitu


1.     Gerak teaterikal
Gerak teaterikal adalah gerak yang dipakai dalam teater, yaitu gerak yang lahir dari keinginan bergerak yang sesuai dengan apa yang dituntut dalam naskah. Jadi gerak teaterikal hanya tercipta pada waktu memainkan naskah drama.
2.     Gerak non teaterikal
Gerak non teaterikal adalah gerak kita dalam kehidupan sehari‑hari.
Gerak yang dipakai dalam teater (gerak teaterikal) ada bermacam‑macam, secara garis besar dapat kita bagi menjadi dua, yaitu gerak halus dan gerak kasar.
  1. Gerak Halus
Gerak halus adalah gerak pada raut muka kita atau perubahan mimik, atau yanq lebih dikenal lagi dengan ekspresi. Gerak ini timbul karena pengaruh dari dalam/emosi, misalnya marah, sedih, gembira, dsb.
  1. Gerak Kasar
Gerak kasar adalah gerak dari seluruh/sebagian anggota tubuh kita. Gerak ini timbul karena adanya pengaruh baik dari luar maupun dari dalam. Gerak kasar masih dapat dibagi menjadi empat bagian. yaitu :
  1. Business, adalah gerak‑gerak kecil yang kita lakukan tanpa penuh kesadaran Gerak ini kita lakukan secara spontan, tanpa terpikirkan (refleks). Misalnya :
-          sewaktu kita sedang mendengar alunan musik, secara tak sadar kita menggerak‑gerakkan tangan atau kaki mengikuti irama musik.
-          sewaktu kita sedang belajar/membaca, kaki kita digigit nyamuk. Secara refleks tangan kita akan memukul kaki yang tergigit nyamuk tanpa kehilangan konsentrasi kita pada belajar.
  1. Gestures, adalah gerak‑gerak besar yang kita lakukan. Gerak ini adalah gerak yang kita lakukan secara sadar. Gerak yang terjadi setelah mendapat perintah dari diri/otak kita Untuk melakukan sesuatu, misalnya saja menulis, mengambil gelas, jongkok, dsb.
  2. Movement, adalah gerak perpindahan tubuh dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Gerak ini tidak hanya terbatas pada berjalan saja, tetapi dapat juga berupa berlari, bergulung‑gulung, melompat, dsb.
  3. Guide, adalah cara berjalan. Cara berjalan disini bisa bermacam-macam. Cara berjalan orang tua akan berbeda dengan cara berjalan seorang anak kecil, berbeda pula dengan cara berjalan orang yang sedang mabuk, dsb.
Setiap gerakan yang kita lakukan harus mempunyai arti, motif dan dasar. Hal ini harus benar-benar diperhatikan dan harus diyakini benar-benar oleh seorang pemain apa maksud dan maknanya ia melakukan gerakan yang demikian itu.
Dalam latihan gerak, kita mengenal latihan “gerak-gerak dasar”. Latihan mengenai gerak-gerak dasar ini kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu :
·         Gerak dasar bawah : posisinya dalam keadaan duduk bersila. Di sini kita hanya boleh bergerak sebebasnya mulai dari tempat kita berpijak sampai pada batas kepala kita.
·         Gerak dasar tengah : posisi kita saat ini dalam keadaan setengah berdiri. Di sini kita diperbolehkan bergerak mulai dari bawah sampai diatas kepala.
·         Gerak dasar atas    : di sini kita boleh bergerak sebebas-bebasnya tanpa ada batas.
Dalam melakukan gerak-gerak dasar diatas kita dituntut untuk berimprovisasi / menciptakan gerak-gerak yang bebas, indah dan artistik.
  
 Latihan-latihan gerak yang lain :
  1. Latihan cermin.
dua orang berdiri berhadap-hadapan satu sama lain. Salah seorang lalu membuat gerakan dan yang lain menirukannya, persis seperti apa yang dilakukan temannya, seolah-olah sedang berdiri didepan cermin. Latihan ini dilakukan bergantian.
  1. Latihan gerak dan tatap mata.
sama dengan latihan cermin, hanya waktu berhadapan mata kedua orang tadi saling tatap, seolah kedua pasang mata sudah saling mengerti apa yang akan digerakkan nanti.
  1. Latihan melenturkan tubuh.
seseorang berdiri dalam keadaan lemas. Kemudian seorang lagi membantu mengangkat tangan temannya. Setelah sampai atas dijatuhkan. Dapat juga sebelum dijatuhkan lengan / tangan tersebut diputar-putar terlebih dahulu.
  1. Latihan gerak bersama.
suatu kelompok yang terdiri dari beberapa orang melakukan gerakan yang sama seperti dilakukan oleh pemimpin kelompok tersebut, yang berdiri didepan mereka.
  1. Latihan gerak mengalir.
suatu kelompok yang terdiri beberapa orang saling bergandengan tangan, membentuk lingkaran. Kemudian salah seorang mulai melakukan gerakan  ( menggerakkan tangan atau tubuh ) dan yang lain mengikuti gerakan tangan orang yang menggandeng tangannya. Selama melakukan gerakan, tangan kita jangan sampai terlepas dari tangan teman kita. Latihan ini dilakukan dengan memejamkan mata dan konsentrasi, sehingga akan terbentuk gerakan yang artistik.

Tuesday, September 13, 2016

Acting Yang Baik Dalam BerTeater



Akting tidak hanya berupa dialog saja, tetapi juga berupa gerak.
Dialog yang baik ialah dialog yang :
    1.      terdengar (volume baik)
    2.      jelas (artikulasi baik)
    3.      dimengerti (lafal benar)
   4.    menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)




Gerak yang baik ialah gerak yang :
1.      terlihat (blocking baik)
2.      jelas (tidak ragu‑ragu, meyakinkan)
3.      dimengerti (sesuai dengan hukum gerak dalam kehidupan)
4.      menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)

Penjelasan :
1.      Volume suara yang baik ialah suara yang dapat terdengar sampai jauh
2.    Artikulasi yang baik ialah pengucapan yang jelas. Setiap suku kata terucap dengan jelas dan terang meskipun diucapkan dengan cepat sekali. Jangan terjadi kata‑kata yang diucapkan menjadi tumpang tindih.
3.      Lafal yang benar pengucapan kata yang sesuai dengan hukum pengucapan bahasa yang dipakai . Misalnya berani yang berarti "tidak takut" harus diucapkan berani bukan ber‑ani.
4.      Menghayati atau menjiwai berarti tekanan atau lagu ucapan harus dapat menimbulkan kesan yang sesuai dengan tuntutan peran dalam naskah
5.      Blocking ialah penempatan pemain di panggung, diusahakan antara pemain yang satu dengan yang lainnya tidak saling menutupi sehingga penonton tidak dapat melihat pemain yang ditutupi.


Pemain lebih baik terlihat sebagian besar bagian depan tubuh daripada terlihat sebagian besar belakang tubuh. Hal ini dapat diatur dengan patokan sebagai berikut :
1.      Kalau berdiri menghadap ke kanan, maka kaki kanan sebaiknya berada didepan.
2.      Kalau berdiri menghadap ke kiri, maka kaki kiri sebaiknya berada didepan.

Harus diatur pula balance para pemain di panggung. Jangan sampai seluruh pemain mengelompok di satu tempat. Dalam hal mengatur balance, komposisinya:
1.      Bagian kanan lebih berat daripada kiri
2.      Bagian depan lebih berat daripada belakang
3.      Yang lebar lebih berat daripada yang sempit
4.      Yang terang lebih berat daripada yang gelap
5.      Menghadap lebih berat daripada yang membelakangi

Komposisi diatur tidak hanya bertujuan untuk enak dilihat tetapi juga untuk mewarnai sesuai adegan yang berlangsung
1.      Jelas, tidak ragu‑ragu, meyakinkan, mempunyai pengertian bahwa gerak yang dilakukan jangan setengah‑setengah bahkan jangan sampai berlebihan. Kalau ragu‑ragu terkesan kaku sedangkan kalau berlebihan terkesan over acting
2.      Dimengerti, berarti apa yang kita wujudkan dalam bentuk gerak tidak menyimpang dari hukum gerak dalam kehidupan. Misalnya bila mengangkat barang yang berat dengan tangan kanan, maka tubuh kita akan miring ke kiri, dsb.
3.      Menghayati berarti gerak‑gerak anggota tubuh maupun gerak wajah harus sesuai tuntutan peran dalam naskah, termasuk pula bentuk dan usia.


Teknik Vokal Dan Pernafasan

                        PERNAFASAN

Seorang artis panggung, baik itu dramawan ataupun penyanyi, maka untuk memperoleh suara yang baik ia memerlukan pernapasan yang baik pula. Oleh karena itu ia harus melatih pernapasan/alat-alat pernapasannya serta mempergunakannya secara tepat agar dapat diperoleh hasil yang maksimum, baik dalam latihan ataupun dalam pementasan.

Ada empat macam pernapasan yang biasa dipergunakan :
Ø Pernafasan dada
Pada pernafasan dada kita menyerap udara kemudian kita masukkan ke rongga dada sehingga dada kita membusung.
Di kalangan orang orang teater pernafasan dada biasanya tidak dipergunakan karena disamping daya tampung atau kapasitas dada untuk Udara sangat sedikit, juga dapat mengganggu gerak/acting kita, karena bahu menjadi kaku.


Ø Pernafasan perut
Dinamakan pernafasan perut jika udara yang kita hisap kita masukkan ke dalam perut sehingga perut kita menggelembung,
Pernafasan perut dipergunakan oleh sebagian dramawan, karena tidak banyak mengganggu gerak dan daya tampungnya lebih banyak dibandingkan dada.


Ø Pernafasan lengkap
Pada pernafasan lengkap kita mempergunakan dada dan perut untuk menyimpan udara, sehingga udara yang kita serap sangat banyak (maksimum).
Pernafasan lengkap dipergunakan oleh sebagian artis panggung yang biasanya tidak terlalu mengutamakan acting, tetapi mengutamakan vokal.


Ø Pernafasan diafragma
Pernafasan diafragma ialah jika pada waktu kita mengambil udara, maka diafragma kita mengembang. Hat ini dapat kita rasakan dengan mengembangnya perut, pinggang, bahkan bagian belakang tubuh di sebelah atas pinggul kita juga turut mengembang.
Menurut perkembangan akhir akhir ini, banyak orang orang teater yang mempergunakan pernapasan diafragma, karena tidak banyak mengganggu gerak dan daya tampungnya lebih banyak dibandingkan dengan pernapasan perut.

Latihan latihan pemapasan :
•Pertama kita menyerap udara sebanyak mungkin. Kemudian masukkan ke dalam dada, kemudian turunkan ke perut, sampai di situ napas kita tahan. Dalam keadaan demikian tubuh kita gerakkan turun sampai batas maksimurn bawah. Setelah sampai di bawah, lalu naik lagi ke posisi semula, barulah napas kita keluarkan kembali.
•Cara kedua adalah menarik napas dan mengeluarkannya kembali dengan cepat.
•Cara berikutnya adalah menarik napas dalam dalam, kemudian keluarkan lewat mulut dengan mendesis, menggumam, ataupun cara cara lain. Di sini kita sudah mulai menyinggung vocal.

Catatan : Bila sudah menentukan pernapasan apa yang akan kita pakai, maka janganlah beralih ke bentuk pernapasan yang lain.


VOCAL


Untuk menjadi seorang pemain drama yang baik, maka dia harus mernpunyai dasar vocal yang baik pula. “Baik” di sini diartikan sebagai :
•Dapat terdengar (dalam jangkauan penonton, sampai penonton, yang paling belakang).
•Jelas (artikulasi/pengucapan yang tepat),
•Tersampaikan misi (pesan) dari dialog yang diucapkan.
•Tidak monoton.
Untuk mempunyai vocal yang baik ini, maka perlu dilakukan latihan latihan vocal. Banyak cara, yang dilakukan untuk melatih vocal, antara lain :
•Tariklah nafas, lantas keluarkan lewat mulut sambil menghentakan suara “wah…” dengan energi suara. Lakukan ini berulang kali.
•Tariklah nafas, lantas keluarkan lewat mulut sambil menggumam “mmm…mmm…” (suara keluar lewat hidung).
•Sama dengan latihan kedua, hanya keluarkan dengan suara mendesis,”ssss…….”
•Hirup udara banyak banyak, kemudian keluarkan vokal “aaaaa…….” sampai batas nafas yang terakhir. Nada suara jangan berubah.
•Sama dengan latihan di atas, hanya nada (tinggi rendah suara) diubah-ubah naik turun (dalam satu tarikan nafas)
•Keluarkan vokal “a…..a……” secara terputus-putus.
•Keluarkan suara vokal “a i u e o”, “ai ao au ae ”, “oa oi oe ou”, “iao iau iae aie aio aiu oui oua uei uia ……” dan sebagainya.
•Berteriaklah sekuat kuatnya sampai ke tingkat histeris.
•Bersuara, berbicara, berteriak sambil berialan, jongkok, bergulung gulung, berlari, berputar putar dan berbagai variasi lainnnya.



Catatan :
Apabila suara kita menjadi serak karena latihan latihan tadi, janganlah takut. Hal ini biasa terjadi apabila kita baru pertama kali melakukan. Sebabnya adalah karena lendir lendir di tenggorokan terkikis, bila kita bersuara keras. Tetapi bila kita sudah terbiasa, tenggorokan kita sudah agak longgar dan selaput suara (larink) sudah menjadi elastis. Maka suara yang serak tersebut akam menghilang dengan sendirinya. Dan ingat, janganlah terlalu memaksa alat alat suara untuk bersuara keras, sebab apabila dipaksakan akan dapat merusak alat alat suara kita. Berlatihlah dalam batas-batas yang wajar.
Latihan ini biasanya dilakukan di alam terbuka. misalnya di gunung, di tepi sungai, di dekat air terjun dan sebagainya. Di sana kita mencoba mengalahkan suara suara di sekitar kita, disamping untuk menghayati karunia Tuhan.

Sunday, February 14, 2016

Tata Panggung


Berikut kita akan membahas tentang tata panggung dalam Seni pertunjukan Teater...

1. Pengetahuan Tata Pentas
Tata pentas bisa disebut juga dengan scenery atau pemandangan latar belakang (Background) tempat memainkan lakon. Tata pentas dalam pengertian luas adalah suasana seputar gerak laku di atas pentas dan semua elemen-elemen visual atau yang terlihat oleh mata yang mengitari pemeran dalam pementasan. Tata pentas dalam pengertian teknik terbatas yaitu benda yang membentuk suatu latar belakang fisik dan memberi batas lingkungan gerak laku. Dengan mengacu pada definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa tata pentas adalah semua latar belakang dan benda-benda yang ada dipanggung guna menunjang seorang pemeran memainkan lakon.
Sebelum memahami lebih jauh tentang tata pentas, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud pentas itu sendiri. Pentas menurut Pramana Padmodarmaya ialah tempat pertunjukan dengan pertunjukan kesenian yang menggunakan manusia (pemeran) sebagai media utama. Dalam hal ini misalnya pertunjukan tari , teater tradisional ( ketoprak, ludruk, lenong, longser, randai makyong, mendu, mamanda, arja dan lain sebagainya), sandiwara atau drama nontradisi baik sandiwara baru maupun teater kontemporer. Webster mendefinisikan pentas sebagai suatu tempat yang tinggi dimana lakon-lakon drama dipentaskan atau suatu tempat dimana para aktor bermain. Sedang W.J.S. Purwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia menerangkan pentas sebagai lantai yang agak ketinggian dirumah (untuk tempat tidur) ataupun di dapur (untuk memasak). Dengan demikian kalau disimpulkan pentas adalah suatu tempat dimana para penari atau pemeran menampilkan seni pertunjukan dihadapan penonton.
Selain istilah pentas kita mengenal istilah panggung. Panggung menurut Purwadarminta ialah lantai yang bertiang atau rumah yang tinggi atau lantai yang berbeda ketinggiannya untuk bermain sandiwara, balkon atau podium. Dalam seni pertunjukan panggung dikenal dengan istilah Stage melingkupi pengertian seluruh panggung. Jika panggung merupakan tempat yang tinggi agar karya seni yang diperagakan diatasnya dapat terlihat oleh penonton, maka pentas juga merupakan suatu ketinggian yang dapat membentuk dekorasi, ruang tamu, kamar belajar, rumah adat dan sebagainya. Jadi beda panggung dengan pentas ialah pentas dapat berada diatas panggung atau dapat pula di arena atau lapangan.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pentas merupakan bagian dari panggung yaitu suatu tempat yang ditinggikan yang berisi dekorasi dan penonton dapat jelas melihat. Dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan panggung pementasan, dan apabila suatu seni pertunjukan dipergelarkan tanpa menggunakan panggung maka disebut arena pementasan. Sehingga pementasan dapat diadakan diarena atau lapangan.
Kini yang dianggap pentas bagi seni pertunjukan kontemporer tidak saja berupa panggung yang biasa terdapat pada sebuah gedung akan tetapi keseluruhan dari pada gedung itulah pentas, yakni panggung dan tempat orang menonton. Sebab pada penampilan seni pertunjukan tokoh dapat saja turun berkomunikasi dengan penontonnya atau ia dapat muncul dari arah penonton. Seperti istilah Shakespeare bahwa seluruh dunia ini adalah pentas ( all the word’s stage). Dengan begitu bisa saja setiap lingkungan masyarakat memiliki sebuah pentas yang memadai dan sesuai untuk mementaskan sebuah seni pertunjukan.

2. Macam-Macam Panggung
Secara fisik bentuk panggung dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu panggung tertutup, panggung terbuka dan panggung kereta. panggung tertutup terdiri dari panggung prosenium, panggung portable dan juga dapat berupa arena. Sedangkan panggung terbuka atau lebih dikenal dengan sebutan open air stage dan bentuknya juga bermacam-macam.

A. Panggung Prosenium atau Panggung Pigura
Panggung prosenium merupakan panggung konvensional yang memiliki ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan pertunjukan. Hubungan antara panggung dan auditorium dipisahkan atau dibatasi oleh dinding atau lubang prosenium. Sedangkan sisi atau tepi lubang prosenium bisa berupa garis lengkung atau garis lurus yang dapat disebut dengan pelengkung prosenium (Proscenium Arch).
Panggung prosenium dibuat untuk membatasi daerah pemeranan dengan penonton. Arah dari panggung ini hanya satu jurusan yaitu kearah penonton saja, agar pandangan penonton lebih terpusat kearah pertunjukan. Para pemeran diatas panggung juga agar lebih jelas dan memusatkan perhatian penonton. Dalam kesadaran itulah maka keadaan pentas prosenium harus dapat memenuhi fungsi melayani pertunjukan dengan sebaik-baiknya.
Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan tidak dilihat oleh penonton. Pentas prosenium tidak seakrab pentas arena, karena memang ada kesengajaan atau kesadaran membuat pertunjukan dengan ukuran-ukuran tertentu. Ukuran-ukuran atau nilai-nilai tertentu dari pertunjukan itu kemudian menjadi konvensi. Maka dari itu pertunjukan yang melakukan konvensi demikian disebut dengan pertunjukan konvensional.


B. Panggung Portable
Panggung portable yaitu panggung tanpa layar muka dan dapat dibuat di dalam maupun di luar gedung dengan mempergunakan panggung (podium, platform) yang dipasang dengan kokoh di atas kuda-kuda. Sebagai tempat penonton biasanya mempergunakan kursi lipat. Adegan-adegan dapat diakhiri dengan mematikan lampu (black out) sebagai pengganti layar depan. Dengan kata lain bahwa panggung portable yaitu panggung yang dibuat secara tidak permanen.

1.2 gambar panggung portable

C. Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling sederhana dibandingkan dengan bentuk-bentuk pangung yang lainnya. Panggung ini dapat dibuat di dalam maupun di luar gedung asal dapat dipergunakan secara memadai. Kursi-kursi penonton diatur sedemikian rupa sehingga tempat panggung berada di tengah dan antara deretan kursi ada lorong untuk masuk dan keluar pemain atau penari menurut kebutuhan pertunjukan tersebut. Papan penyangga (peninggi) ditempatkan di belakang masing-masing deret kursi, sehingga kursi deretan belakang dapat melihat dengan baik tanpa terhalang penonton dimukanya. Sebagai penganti layar pada akhir pertunjukan atau pergantian babak dapat digunakan dengan cara mematikan lampu (black out). Perlengkapan tata lampu dapat dibuatkan tiang-tiang tersendiri dan penempatannya harus tidak mengganggu pandangan penonton.

1.3 gambar panggung arena
D. Panggung Terbuka
Panggung terbuka sebetulnya lahir dan dibuat di daerah atau tempat terbuka. Berbagai variasi dapat digunakan untuk memproduksi pertunjukan di tempat terbuka. Pentas dapat dibuat di beranda rumah, teras sebuah gedung dengan penonton berada di halaman, atau dapat diadakan disebuah tempat yang landai dimana penonton berada di bagian bawah tempat tersebut. Panggung terbuka permanen (open air stage) yang cukup popular di Indonesia antara lain adalah panggung terbuka di Candi Prambanan.

E. Panggung Kereta
Panggung kereta disebut juga dengan panggung keliling dan digunakan untuk mempertunjukkan karya-karya teater dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan panggung yang dibuat di atas kereta. Perkembangan sekarang panggung tidak dibuat di atas kereta tetapi dibuat diatas mobil trailer yang diperlengkapi menurut kebutuhan dan perlengkapan tata cahaya yang sesuai dengan kebutuhan pentas. Jadi kelompok kesenian dapat mementaskan karyanya dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus memikirkan gedung pertunjukan tetapi hanya mencari tanah yang agak lapang untuk memarkir kereta dan penonton bebas untuk menonton.

3. Pokok-pokok Persyaratan Set Panggung/Pentas
Set panggung atau pentas (scenery) yaitu penampilan visual lingkungan sekitar gerak laku pemeran dalam sebuah lakon. Untuk itu dalam merancang pentas harus memperhatikan aspek-aspek tempat gerak-laku, memperkuat gerak-laku dan mendandani atau memperindah gerak-laku. Oleh sebab itu, tugas seorang perancang pentas hendaklah merencanakan set-nya sedemikian rupa sehingga :
  1. Dapat memberi ruang kepada gerak-laku.
  2. Dapat memberi pernyataan suasana lakon.
  3. Dapat memberi pandangan yang menarik.
  4. Dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton.
  5. Merupakan rancangan yang sederhana
  6. Dapat bermanfaat terus menerus bagi pemeran atau pelaku.
  7. Dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa.
  8. Dapat membuat rancangan yang menunjukkan bahwa setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual pentasnya memiliki hubungan satu sama lain.
Oleh karena itu, secara singkat seorang perancang pentas yang membuat set harus memiliki tujuan yaitu: lokatif, ekspresif, atraktif, jelas, sederhana, bermanfaat, praktis dan organis.
  • Lokatif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi tempat kepada gerak laku pemeran atau pelaku pertunjukan.
  • Ekspresif yaitu penataan pentas harus dapat memperkuat gerak-laku dengan memberi penjelasan, menggambarkan keadaan sekitar dan menciptakan suasana bagi gerak-laku tersebut.
  • Atraktif yaitu penataan pentas itu harus dapat memberi pandangan yang menarik bagi penonton.
  • Jelas yaitu penataan pentas itu harus merupakan rancangan yang dapat dilihat dan dimengerti oleh penonton dari suatu jarak tertentu.
  • Sederhana yaitu penataan pentas itu harus sederhana. Sederhana tidak berarti bahwa pentas hanya terdiri dari satu meja dan dua kursi, tetapi penataannya tidak ruwet dan penonton dapat melihat dan menarik maknanya tanpa memeras pikiran dan perasaan.
  • Bermanfaat yaitu penataan pentas harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat bagi para pemeran dengan efektif dan seefisien mungkin.
  • Praktis yaitu penataan pentas itu harus dapat secara efisien dibuat, disusun dan dibawa serta dapat memenuhi kebutuhan teknis pembuatan tata pentas atau scenery.
  • Organis yaitu penataan pentas itu harus dapat menunjukkan setiap elemen yang terdapat didalam penampilan visual penataannya dan memiliki hubungan satu sama lainnya.
Sekian terima kasih, semoga bermanfaat...
Salam Budaya !!!
 




Friday, January 22, 2016

Sandur Bojonegoro

Kesenian Sandur adalah jenis kesenian rakyat tradisional yang berbentuk drama tari dengan mengambil cerita lokal yang menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesenian ini tumbuh dan berkembang sebagai aktivitas sosial budaya masyarakat Ledok Kulon, Bojonegoro, Jawa Timur, yang berfungsi untuk upacara sedhekah bumi, syukuran panen, perkawinan, dan untuk keperluan nadar. Kesenian ini dulunya (era 50 – 60 an) pernah berfungsi sebagai media pengobatan orang sakit, sebagai pelengkap upacara ritual, dan berfungsi sebagai sarana interaksi sosial antar warga masyarakat.

 

Menurut tradisi lisan kesenian Sandur sudah ada sejak masa penjajahan Belanda[1] dan mengalami perubahan sejalan dengan tingkat pola pikir masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Ledok Kulon yang bertempat sekitar 2 Km. dari pusat kota, sehingga dimungkinkan terjadi perubahan gaya hidup dari masyarakat pedesaan ke gaya hidup masyarakat perkotaan atau masyarakat urban, termasuk pada seni pertunjukannya. Kalau dahulu pertunjukan Sandur sebagai sarana upacara ritual dan pengobatan, dalam perkembangan terakhir semata-mata hanya untuk kepentingan hiburan masyarakat, namun sebenarnya masyarakat masih mempertahankan nilai-nilai dan simbol-simbol yang ada dalam kesenian Sandur, seperti upacara sedhekah bumi, nyadran, nadar yang keseluruhannya dilengkapi dengan sesaji. Hal ini sesuai dengan pendapat Frans~Magnis Suseno bahwa masyarakat Jawa pada umumnya penganut kejawèn, karena keterlibatannya yang tetap melestarikan budaya Jawa yang sarat dengan tata susila, simbolisasi, dan ajaran-ajaran mistik Jawa.[2]

Kesenian Sandur yang berkembang di lingkungan masyarakat pinggiran yang masih melestarikan nilai-nilai tradisi kejawèn sangat dipengaruhi oleh pola pikir dalam rangka menjaga keseimbangan mikro dan makro-kosmos. Hal ini tercermin dalam ajaran mistik Jawa. Anya Peterson Royce menegaskan bahwa suatu masyarakat biasanya mengagungkan suatu tradisi untuk menjaga kewibawaan komunal.[3] Dalam upaya menjaga wibawa komunitasnya, maka kesenian Sandur hadir dan tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnnya. Hal ini tercermin dalam struktur pertunjukan kesenian Sandur. Misalnya adegan Jaranan yang secara simbolis bermakna nafsu yang ada dalam diri manusia, arena pertunjukan yang disebut Blabar Janur Kuning adalah simbol dari kéblat papat yang menurut ajaran mistik Jawa merupakan anasir pembentuk jati diri manusia. Tokoh-tokoh dalam Sandur ketika memasuki pentas dikerudungi kain panjang, kemudian dibuka untuk memulai perannya menyimbolkan kelahiran, dan atraksi Kalongking merupakan simbolisasi dari kematian. Menurut penjelasan Masnoen bahwa makna pertunjukan Sandur adalah proses kehidupan manusia dari lahir, hidup, dan mati.[4]

Pertunjukan Sandur ini dipentaskan pada malam hari di tempat yang luas, baik halaman rumah ataupun di tanah lapang. Arena pentasnya berbentuk bujur sangkar yang masing-masing sisinya berukuran 6 – 8 meter yang dibentuk oleh rentangan tali dengan rumbai-rumbai janur kuning (daun kelapa yang masih muda) dan jajan pasar (ketupat, lepet, kerupuk, dsb.). Arena pertunjukan ini disebut Blabar Janur Kuning dan penonton mengitari setiap sisinya. Pada era 50 – 60 an durasi pertunjukannya mulai dari jam 10 malam sampai menjelang subuh, namun sekarang hanya sekitar 2 atau 3 jam dimulai dari jam 8 malam.

Pelaku pentas terdiri dari lima orang pemeran tokoh, yakni Germo, Cawik, Péthak, Balong, dan Tangsil, serta 10-20 orang Panjak Oré (sebutan para penyanyi tembang-tembang pengiring), Panjak Kendang (pengendang) dan Panjak Gong (peniup gong yang terbuat dari bumbung/bambu besar), Tukang Njaran (penari Jaranan), Tukang Ngalong (pemain akrobat adegan Kalongking), dua orang Srati dan seorang Pendhegar (pembantu Germo menangani Tukang Njaran pada saat ndadi atau in trance).

Instrumen iringannya pun cukup sederhana, yakni sebuah kendang serta gong bumbung (bambu besar), dan nyanyian tembang-tembang. Demikian pula dengan properti pentas lainnya, misalnya penerangan tidak menggunakan lampu listrik, namun cukup dengan obor dan mrutu sèwu, yakni lentera dari bambu 1 – 1,5 meter yang direntang dengan sumbu-sumbu berjajar di atasnya. Kalaupun digunakan lampu listrik, hanya sekadar membantu penerangan, bukan merupakan komponen pokok pertunjukan Sandur.

Para pemeran menggunakan tata busana yang menyerupai wayang orang ataupun ketoprak, sedangkan Panjak Oré dan lainnya menggunakan busana sehari-hari. Sukadi menerangkan bahwa sebenarnya tata busana para pemeran tokoh tersebut ingin menggunakan tata busana wayang orang, sebagaimana tokoh-tokoh bidadari yang menyusupi para pemeran.[5] Namun demikian karena keterbatasan fasilitas, tokoh Cawik mengenakan kostum mirip tari Serimpi, tokoh Pethak mirip tokoh wayang orang Karna, tokoh Balong mirip tokoh Harjuna, sedangkan tokoh Tangsil memakai topi masinis kereta api (topi pet) dan memakai kalung yang banyak untuk menggambarkan seorang yang kaya raya. Tokoh Germo memakai kostum sebagaimana layaknya orang tua Jawa. Tukang Njaran, Panjak Oré, Srati, Pendhegar dan lainnya hanya menggunakan pakaian sehari-hari atau tanpa ketentuan yang baku.

Keempat sudut arena pertunjukan (Blabar Janur Kuning), merupakan tempat atau rumah masing-masing tokoh; Germo dan Cawik di timur laut, Tangsil di tenggara, Balong di barat daya, dan Pethak di barat laut. Panjak Oré, Panjak Kendang dan Gong, Tukang Ngalong, Srati dan Tukang Njaran di tengah-tengah menghadap ke timur. Adegan dan akting dilakukan dengan menari dan diiringi tembang-tembang oleh para Panjak Oré sesuai dengan adegan yang dilakukan. Dialog yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek Bojonegoro.

Keunikan pertunjukan Sandur ini, selain bentuknya yang sederhana, juga memiliki nuansa sakral yang dibangun oleh aroma bunga, dupa dan kemenyan, ditambah lagi dengan tari Jaranan yang dilakukan dengan ndadi (intrance) dan atraksi Kalongking yang sangat mendebarkan. Tari Jaranan setiap kali aksinya dilakukan dengan ndadi (intrance) atau tidak sadar karena kerasukan roh jaran. Roh-roh jaran yang biasa merasuki Tukang Njaran antara lain bernama Gagak Rimang, jaran Dhawuk, Sandel, jaran Koré, dan Prawan Sunthi. Atraksi Kalongking dilakukan dengan berjumpalitan pada seutas tali tambang. Tali tambang tersebut dikaitkan pada ujung dua tiang bambu berukuran 5 – 10 meter.  Atraksi ini merupakan pertanda berakhirnya pertunjukan Sandur.

Alasan pemilihan obyek penelitian pada makna simbolik dalam pertunjukan Sandur, selain keunikan pertunjukannya juga karena kesenian Sandur sarat dengan pelajaran, nilai, dan makna filosofis kehidupan yang semestinya diungkap serta dipelajari. Selain itu, pengungkapan makna-makna simbolik ini tentu sangat berguna, dan turut menyumbang pada khasanah ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.

Untuk membahas makna simbolik dalam pertunjukan Sandur ini dibutuhkan beberapa teori simbolisme. Simbol menurut James P. Spradley adalah sebagai berikut.

Simbol adalah obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi makna simbolik.[6]


berdasarkan keterangan James P. Spradley tersebut, dalam penetilitan ini obyek yang menunjuk pada sesuatu atau memiliki makna simbolik adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam pertunjukan Sandur dan yang terkait dengan pertunjukan, baik berupa benda-benda properti, pelaku pertunjukan, maupun adegan yang dilakukan dalam pertunjukan tersebut yang sengaja disusun sebagai suatu simbol. Rujukan yang dimaksud adalah data-data antropologis masyarakat Ledok Kulon, tempat kesenian Sandur berada, ditambah dengan buku-buku / sumber pustaka yang berkaitan dengan keberadaan sosio-kultural masyarakat Jawa dan simbolisme dalam kesenian. Proses analisis, yakni menghubungkan antara simbol-simbol dalam pertunjukan Sandur dan data antropologis serta acuan pustaka, kemudian menghasilkan pemahaman makna simbolik atas simbol-simbol yang terdapat di dalam pertunjukan tersebut.

            Terkait dengan keberadaan simbol dan rujukan untuk mengungkap makna suatu simbol, Anya Peterson Royce menyatakan bahwa segala unsur pembentuk sebuah kesenian dan kreator seni berada dalam suatu kultur masyarakat tertentu. Oleh karena itu kesenian tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakatnya. Untuk menelitinya tentu dibutuhkan data-data antropologis yang berkaitan dengan keberadaan karya seni tersebut sebagai rujukan pada proses analisis penelitian ini.[7]

Berdasarkan teori-teori di atas dapat ditarik pengertian bahwa untuk mengupas makna simbol dalam suatu pertunjukan harus meninjau sosio-kultural masyarakatnya. Jika masyarakat pendukung Sandur adalah masyarakat dengan latar belakang sosio-kultural Jawa, maka simbol-simbol dalam seni pertunjukan tersebut erat kaitannya dengan budaya dan pandangan hidup Jawa. ***


(Winarti, S.Sn)


                [1]Wawancara dengan Sukadi (65 tahun), Bojonegoro, 9 Januari 2005.

                [2]Franz~Magnis Suseno, SJ., Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 15.

[3]Anya Peterson Royce, The Anthropology of Dance, (Bloomington and London: Indiana University Press, 1977), p. 158. 

                [4]Wawancara dengan Masnoen (32 tahun), Bojonegoro, 14 Pebruari 2005. 

[5]Wawancara dengan Sukadi (65 tahun), Bojonegoro, 9 Januari 2005. 

[6]James P. Spradley, Metode Etnografi, Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), p. 121.

                [7]Anya Peterson Royce, Op. Cit., p. 215.