Act and Art

test banner

Pages

test

test

Friday, January 22, 2016

Sandur Bojonegoro

Kesenian Sandur adalah jenis kesenian rakyat tradisional yang berbentuk drama tari dengan mengambil cerita lokal yang menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesenian ini tumbuh dan berkembang sebagai aktivitas sosial budaya masyarakat Ledok Kulon, Bojonegoro, Jawa Timur, yang berfungsi untuk upacara sedhekah bumi, syukuran panen, perkawinan, dan untuk keperluan nadar. Kesenian ini dulunya (era 50 – 60 an) pernah berfungsi sebagai media pengobatan orang sakit, sebagai pelengkap upacara ritual, dan berfungsi sebagai sarana interaksi sosial antar warga masyarakat.

 

Menurut tradisi lisan kesenian Sandur sudah ada sejak masa penjajahan Belanda[1] dan mengalami perubahan sejalan dengan tingkat pola pikir masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Ledok Kulon yang bertempat sekitar 2 Km. dari pusat kota, sehingga dimungkinkan terjadi perubahan gaya hidup dari masyarakat pedesaan ke gaya hidup masyarakat perkotaan atau masyarakat urban, termasuk pada seni pertunjukannya. Kalau dahulu pertunjukan Sandur sebagai sarana upacara ritual dan pengobatan, dalam perkembangan terakhir semata-mata hanya untuk kepentingan hiburan masyarakat, namun sebenarnya masyarakat masih mempertahankan nilai-nilai dan simbol-simbol yang ada dalam kesenian Sandur, seperti upacara sedhekah bumi, nyadran, nadar yang keseluruhannya dilengkapi dengan sesaji. Hal ini sesuai dengan pendapat Frans~Magnis Suseno bahwa masyarakat Jawa pada umumnya penganut kejawèn, karena keterlibatannya yang tetap melestarikan budaya Jawa yang sarat dengan tata susila, simbolisasi, dan ajaran-ajaran mistik Jawa.[2]

Kesenian Sandur yang berkembang di lingkungan masyarakat pinggiran yang masih melestarikan nilai-nilai tradisi kejawèn sangat dipengaruhi oleh pola pikir dalam rangka menjaga keseimbangan mikro dan makro-kosmos. Hal ini tercermin dalam ajaran mistik Jawa. Anya Peterson Royce menegaskan bahwa suatu masyarakat biasanya mengagungkan suatu tradisi untuk menjaga kewibawaan komunal.[3] Dalam upaya menjaga wibawa komunitasnya, maka kesenian Sandur hadir dan tetap dipertahankan oleh masyarakat pendukungnnya. Hal ini tercermin dalam struktur pertunjukan kesenian Sandur. Misalnya adegan Jaranan yang secara simbolis bermakna nafsu yang ada dalam diri manusia, arena pertunjukan yang disebut Blabar Janur Kuning adalah simbol dari kéblat papat yang menurut ajaran mistik Jawa merupakan anasir pembentuk jati diri manusia. Tokoh-tokoh dalam Sandur ketika memasuki pentas dikerudungi kain panjang, kemudian dibuka untuk memulai perannya menyimbolkan kelahiran, dan atraksi Kalongking merupakan simbolisasi dari kematian. Menurut penjelasan Masnoen bahwa makna pertunjukan Sandur adalah proses kehidupan manusia dari lahir, hidup, dan mati.[4]

Pertunjukan Sandur ini dipentaskan pada malam hari di tempat yang luas, baik halaman rumah ataupun di tanah lapang. Arena pentasnya berbentuk bujur sangkar yang masing-masing sisinya berukuran 6 – 8 meter yang dibentuk oleh rentangan tali dengan rumbai-rumbai janur kuning (daun kelapa yang masih muda) dan jajan pasar (ketupat, lepet, kerupuk, dsb.). Arena pertunjukan ini disebut Blabar Janur Kuning dan penonton mengitari setiap sisinya. Pada era 50 – 60 an durasi pertunjukannya mulai dari jam 10 malam sampai menjelang subuh, namun sekarang hanya sekitar 2 atau 3 jam dimulai dari jam 8 malam.

Pelaku pentas terdiri dari lima orang pemeran tokoh, yakni Germo, Cawik, Péthak, Balong, dan Tangsil, serta 10-20 orang Panjak Oré (sebutan para penyanyi tembang-tembang pengiring), Panjak Kendang (pengendang) dan Panjak Gong (peniup gong yang terbuat dari bumbung/bambu besar), Tukang Njaran (penari Jaranan), Tukang Ngalong (pemain akrobat adegan Kalongking), dua orang Srati dan seorang Pendhegar (pembantu Germo menangani Tukang Njaran pada saat ndadi atau in trance).

Instrumen iringannya pun cukup sederhana, yakni sebuah kendang serta gong bumbung (bambu besar), dan nyanyian tembang-tembang. Demikian pula dengan properti pentas lainnya, misalnya penerangan tidak menggunakan lampu listrik, namun cukup dengan obor dan mrutu sèwu, yakni lentera dari bambu 1 – 1,5 meter yang direntang dengan sumbu-sumbu berjajar di atasnya. Kalaupun digunakan lampu listrik, hanya sekadar membantu penerangan, bukan merupakan komponen pokok pertunjukan Sandur.

Para pemeran menggunakan tata busana yang menyerupai wayang orang ataupun ketoprak, sedangkan Panjak Oré dan lainnya menggunakan busana sehari-hari. Sukadi menerangkan bahwa sebenarnya tata busana para pemeran tokoh tersebut ingin menggunakan tata busana wayang orang, sebagaimana tokoh-tokoh bidadari yang menyusupi para pemeran.[5] Namun demikian karena keterbatasan fasilitas, tokoh Cawik mengenakan kostum mirip tari Serimpi, tokoh Pethak mirip tokoh wayang orang Karna, tokoh Balong mirip tokoh Harjuna, sedangkan tokoh Tangsil memakai topi masinis kereta api (topi pet) dan memakai kalung yang banyak untuk menggambarkan seorang yang kaya raya. Tokoh Germo memakai kostum sebagaimana layaknya orang tua Jawa. Tukang Njaran, Panjak Oré, Srati, Pendhegar dan lainnya hanya menggunakan pakaian sehari-hari atau tanpa ketentuan yang baku.

Keempat sudut arena pertunjukan (Blabar Janur Kuning), merupakan tempat atau rumah masing-masing tokoh; Germo dan Cawik di timur laut, Tangsil di tenggara, Balong di barat daya, dan Pethak di barat laut. Panjak Oré, Panjak Kendang dan Gong, Tukang Ngalong, Srati dan Tukang Njaran di tengah-tengah menghadap ke timur. Adegan dan akting dilakukan dengan menari dan diiringi tembang-tembang oleh para Panjak Oré sesuai dengan adegan yang dilakukan. Dialog yang digunakan adalah bahasa Jawa dialek Bojonegoro.

Keunikan pertunjukan Sandur ini, selain bentuknya yang sederhana, juga memiliki nuansa sakral yang dibangun oleh aroma bunga, dupa dan kemenyan, ditambah lagi dengan tari Jaranan yang dilakukan dengan ndadi (intrance) dan atraksi Kalongking yang sangat mendebarkan. Tari Jaranan setiap kali aksinya dilakukan dengan ndadi (intrance) atau tidak sadar karena kerasukan roh jaran. Roh-roh jaran yang biasa merasuki Tukang Njaran antara lain bernama Gagak Rimang, jaran Dhawuk, Sandel, jaran Koré, dan Prawan Sunthi. Atraksi Kalongking dilakukan dengan berjumpalitan pada seutas tali tambang. Tali tambang tersebut dikaitkan pada ujung dua tiang bambu berukuran 5 – 10 meter.  Atraksi ini merupakan pertanda berakhirnya pertunjukan Sandur.

Alasan pemilihan obyek penelitian pada makna simbolik dalam pertunjukan Sandur, selain keunikan pertunjukannya juga karena kesenian Sandur sarat dengan pelajaran, nilai, dan makna filosofis kehidupan yang semestinya diungkap serta dipelajari. Selain itu, pengungkapan makna-makna simbolik ini tentu sangat berguna, dan turut menyumbang pada khasanah ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.

Untuk membahas makna simbolik dalam pertunjukan Sandur ini dibutuhkan beberapa teori simbolisme. Simbol menurut James P. Spradley adalah sebagai berikut.

Simbol adalah obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi makna simbolik.[6]


berdasarkan keterangan James P. Spradley tersebut, dalam penetilitan ini obyek yang menunjuk pada sesuatu atau memiliki makna simbolik adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam pertunjukan Sandur dan yang terkait dengan pertunjukan, baik berupa benda-benda properti, pelaku pertunjukan, maupun adegan yang dilakukan dalam pertunjukan tersebut yang sengaja disusun sebagai suatu simbol. Rujukan yang dimaksud adalah data-data antropologis masyarakat Ledok Kulon, tempat kesenian Sandur berada, ditambah dengan buku-buku / sumber pustaka yang berkaitan dengan keberadaan sosio-kultural masyarakat Jawa dan simbolisme dalam kesenian. Proses analisis, yakni menghubungkan antara simbol-simbol dalam pertunjukan Sandur dan data antropologis serta acuan pustaka, kemudian menghasilkan pemahaman makna simbolik atas simbol-simbol yang terdapat di dalam pertunjukan tersebut.

            Terkait dengan keberadaan simbol dan rujukan untuk mengungkap makna suatu simbol, Anya Peterson Royce menyatakan bahwa segala unsur pembentuk sebuah kesenian dan kreator seni berada dalam suatu kultur masyarakat tertentu. Oleh karena itu kesenian tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakatnya. Untuk menelitinya tentu dibutuhkan data-data antropologis yang berkaitan dengan keberadaan karya seni tersebut sebagai rujukan pada proses analisis penelitian ini.[7]

Berdasarkan teori-teori di atas dapat ditarik pengertian bahwa untuk mengupas makna simbol dalam suatu pertunjukan harus meninjau sosio-kultural masyarakatnya. Jika masyarakat pendukung Sandur adalah masyarakat dengan latar belakang sosio-kultural Jawa, maka simbol-simbol dalam seni pertunjukan tersebut erat kaitannya dengan budaya dan pandangan hidup Jawa. ***


(Winarti, S.Sn)


                [1]Wawancara dengan Sukadi (65 tahun), Bojonegoro, 9 Januari 2005.

                [2]Franz~Magnis Suseno, SJ., Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 15.

[3]Anya Peterson Royce, The Anthropology of Dance, (Bloomington and London: Indiana University Press, 1977), p. 158. 

                [4]Wawancara dengan Masnoen (32 tahun), Bojonegoro, 14 Pebruari 2005. 

[5]Wawancara dengan Sukadi (65 tahun), Bojonegoro, 9 Januari 2005. 

[6]James P. Spradley, Metode Etnografi, Terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), p. 121.

                [7]Anya Peterson Royce, Op. Cit., p. 215.

Lokasi: Bojonegoro, Bojonegoro Sub-District, Bojonegoro Regency, East Java, Indonesia

0 komentar: