Kesenian Sandur adalah jenis kesenian rakyat tradisional yang berbentuk
drama tari dengan mengambil cerita lokal yang menggambarkan kehidupan
masyarakat sehari-hari. Kesenian ini tumbuh dan berkembang sebagai aktivitas
sosial budaya masyarakat Ledok Kulon, Bojonegoro, Jawa Timur, yang berfungsi
untuk upacara sedhekah bumi, syukuran
panen, perkawinan, dan untuk keperluan nadar.
Kesenian ini dulunya (era 50 – 60 an) pernah berfungsi sebagai media pengobatan
orang sakit, sebagai pelengkap upacara ritual, dan berfungsi sebagai sarana
interaksi sosial antar warga masyarakat.
Menurut tradisi lisan kesenian Sandur sudah ada sejak masa penjajahan
Belanda
dan mengalami perubahan sejalan dengan tingkat pola pikir masyarakat
pendukungnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Ledok Kulon yang bertempat
sekitar 2 Km. dari pusat kota, sehingga dimungkinkan terjadi perubahan gaya
hidup dari masyarakat pedesaan ke gaya hidup masyarakat perkotaan atau
masyarakat urban, termasuk pada seni pertunjukannya. Kalau dahulu pertunjukan
Sandur sebagai sarana upacara ritual dan pengobatan, dalam perkembangan
terakhir semata-mata hanya untuk kepentingan hiburan masyarakat, namun
sebenarnya masyarakat masih mempertahankan nilai-nilai dan simbol-simbol yang
ada dalam kesenian Sandur, seperti upacara sedhekah
bumi, nyadran, nadar yang
keseluruhannya dilengkapi dengan sesaji. Hal ini sesuai dengan pendapat
Frans~Magnis Suseno bahwa masyarakat Jawa pada umumnya penganut kejawèn, karena keterlibatannya yang
tetap melestarikan budaya Jawa yang sarat dengan tata susila, simbolisasi, dan
ajaran-ajaran mistik Jawa.
Kesenian Sandur yang berkembang di lingkungan masyarakat pinggiran yang
masih melestarikan nilai-nilai tradisi kejawèn
sangat dipengaruhi oleh pola pikir dalam rangka menjaga keseimbangan mikro
dan makro-kosmos. Hal ini tercermin dalam ajaran mistik Jawa. Anya Peterson
Royce menegaskan bahwa suatu masyarakat biasanya mengagungkan suatu tradisi
untuk menjaga kewibawaan komunal.
Dalam upaya menjaga wibawa komunitasnya, maka kesenian Sandur hadir dan tetap
dipertahankan oleh masyarakat pendukungnnya. Hal ini tercermin dalam struktur
pertunjukan kesenian Sandur. Misalnya adegan Jaranan yang secara simbolis bermakna nafsu yang ada dalam diri
manusia, arena pertunjukan yang disebut Blabar
Janur Kuning adalah simbol dari kéblat
papat yang menurut ajaran mistik Jawa merupakan anasir pembentuk jati diri
manusia. Tokoh-tokoh dalam Sandur ketika memasuki pentas dikerudungi kain
panjang, kemudian dibuka untuk memulai perannya menyimbolkan kelahiran, dan
atraksi Kalongking merupakan
simbolisasi dari kematian. Menurut penjelasan Masnoen bahwa makna pertunjukan
Sandur adalah proses kehidupan manusia dari lahir, hidup, dan mati.
Pertunjukan Sandur ini dipentaskan pada malam hari di tempat yang luas,
baik halaman rumah ataupun di tanah lapang. Arena pentasnya berbentuk bujur
sangkar yang masing-masing sisinya berukuran 6 – 8 meter yang dibentuk oleh
rentangan tali dengan rumbai-rumbai janur
kuning (daun kelapa yang masih muda) dan jajan pasar (ketupat, lepet,
kerupuk, dsb.). Arena pertunjukan ini disebut Blabar Janur Kuning dan penonton mengitari setiap sisinya. Pada era
50 – 60 an durasi pertunjukannya mulai dari jam 10 malam sampai menjelang
subuh, namun sekarang hanya sekitar 2 atau 3 jam dimulai dari jam 8 malam.
Pelaku pentas terdiri dari lima orang pemeran tokoh, yakni Germo, Cawik,
Péthak, Balong, dan Tangsil, serta 10-20 orang Panjak Oré (sebutan para penyanyi tembang-tembang pengiring), Panjak Kendang (pengendang) dan Panjak Gong (peniup gong yang terbuat
dari bumbung/bambu besar), Tukang Njaran (penari Jaranan), Tukang Ngalong (pemain akrobat adegan Kalongking), dua orang Srati dan
seorang Pendhegar (pembantu Germo
menangani Tukang Njaran pada saat ndadi atau in trance).
Instrumen iringannya pun cukup sederhana, yakni sebuah kendang serta gong
bumbung (bambu besar), dan
nyanyian tembang-tembang. Demikian pula dengan properti pentas lainnya,
misalnya penerangan tidak menggunakan lampu listrik, namun cukup dengan obor
dan mrutu sèwu, yakni lentera dari
bambu 1 – 1,5 meter yang direntang dengan sumbu-sumbu berjajar di atasnya. Kalaupun digunakan lampu
listrik, hanya sekadar membantu penerangan, bukan merupakan komponen pokok
pertunjukan Sandur.
Para pemeran menggunakan tata busana yang menyerupai wayang orang ataupun
ketoprak, sedangkan Panjak Oré dan
lainnya menggunakan busana sehari-hari. Sukadi menerangkan bahwa sebenarnya
tata busana para pemeran tokoh tersebut ingin menggunakan tata busana wayang
orang, sebagaimana tokoh-tokoh bidadari yang menyusupi para pemeran.
Namun demikian karena keterbatasan fasilitas, tokoh Cawik mengenakan kostum
mirip tari Serimpi, tokoh Pethak
mirip tokoh wayang orang Karna, tokoh Balong mirip tokoh Harjuna, sedangkan
tokoh Tangsil memakai topi masinis kereta api (topi pet) dan memakai kalung
yang banyak untuk menggambarkan seorang yang kaya raya. Tokoh Germo memakai
kostum sebagaimana layaknya orang tua Jawa. Tukang
Njaran, Panjak Oré, Srati, Pendhegar dan lainnya hanya menggunakan pakaian sehari-hari atau tanpa ketentuan yang
baku.
Keempat sudut arena pertunjukan (Blabar
Janur Kuning), merupakan tempat atau rumah masing-masing tokoh; Germo dan
Cawik di timur laut, Tangsil di tenggara, Balong di barat daya, dan Pethak di
barat laut. Panjak Oré, Panjak Kendang
dan Gong, Tukang Ngalong, Srati dan Tukang Njaran di tengah-tengah
menghadap ke timur. Adegan dan akting dilakukan dengan menari dan diiringi
tembang-tembang oleh para Panjak Oré
sesuai dengan adegan yang dilakukan. Dialog yang digunakan adalah bahasa Jawa
dialek Bojonegoro.
Keunikan pertunjukan Sandur ini, selain bentuknya yang sederhana, juga
memiliki nuansa sakral yang dibangun oleh aroma bunga, dupa dan kemenyan,
ditambah lagi dengan tari Jaranan yang
dilakukan dengan ndadi (intrance) dan
atraksi Kalongking yang sangat
mendebarkan. Tari Jaranan setiap kali
aksinya dilakukan dengan ndadi (intrance) atau tidak sadar karena kerasukan
roh jaran. Roh-roh jaran yang biasa merasuki Tukang Njaran antara lain bernama Gagak
Rimang, jaran Dhawuk, Sandel, jaran Koré, dan Prawan Sunthi. Atraksi Kalongking dilakukan dengan
berjumpalitan pada seutas tali tambang. Tali tambang tersebut dikaitkan pada
ujung dua tiang bambu berukuran 5 – 10 meter.
Atraksi ini merupakan pertanda berakhirnya pertunjukan Sandur.
Alasan pemilihan obyek penelitian pada makna simbolik dalam pertunjukan
Sandur, selain keunikan pertunjukannya juga karena kesenian Sandur sarat dengan
pelajaran, nilai, dan makna filosofis kehidupan yang semestinya diungkap serta
dipelajari. Selain itu, pengungkapan makna-makna simbolik ini tentu sangat
berguna, dan turut menyumbang pada khasanah ilmu pengetahuan, seni, dan budaya.
Untuk membahas makna simbolik dalam pertunjukan Sandur ini dibutuhkan
beberapa teori simbolisme. Simbol menurut James P. Spradley adalah sebagai
berikut.
Simbol adalah
obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan
tiga unsur: simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara
simbol dengan rujukan. Ketiga hal ini merupakan dasar bagi makna simbolik.
berdasarkan
keterangan James P. Spradley tersebut, dalam penetilitan ini obyek yang
menunjuk pada sesuatu atau memiliki makna simbolik adalah segala sesuatu yang
terdapat di dalam pertunjukan Sandur dan yang terkait dengan pertunjukan, baik
berupa benda-benda properti, pelaku pertunjukan, maupun adegan yang dilakukan
dalam pertunjukan tersebut yang sengaja disusun sebagai suatu simbol. Rujukan
yang dimaksud adalah data-data antropologis masyarakat Ledok Kulon, tempat
kesenian Sandur berada, ditambah dengan buku-buku / sumber pustaka yang
berkaitan dengan keberadaan sosio-kultural masyarakat Jawa dan simbolisme dalam
kesenian. Proses analisis, yakni menghubungkan antara simbol-simbol dalam
pertunjukan Sandur dan data antropologis serta acuan pustaka, kemudian
menghasilkan pemahaman makna simbolik atas simbol-simbol yang terdapat di dalam
pertunjukan tersebut.
Terkait
dengan keberadaan simbol dan rujukan untuk mengungkap makna suatu simbol, Anya
Peterson Royce menyatakan bahwa segala unsur pembentuk sebuah kesenian dan
kreator seni berada dalam suatu kultur masyarakat tertentu. Oleh karena itu
kesenian tidak dapat dipisahkan dari kultur masyarakatnya. Untuk menelitinya
tentu dibutuhkan data-data antropologis yang berkaitan dengan keberadaan karya
seni tersebut sebagai rujukan pada proses analisis penelitian ini.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat ditarik pengertian bahwa untuk
mengupas makna simbol dalam suatu pertunjukan harus meninjau sosio-kultural
masyarakatnya. Jika masyarakat pendukung Sandur adalah masyarakat dengan latar
belakang sosio-kultural Jawa, maka simbol-simbol dalam seni pertunjukan
tersebut erat kaitannya dengan budaya dan pandangan hidup Jawa. ***
(Winarti, S.Sn)
Anya
Peterson Royce, Op. Cit., p. 215.